BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Globalisasi adalah intensifikasi
hubungan sosial sejagat yang menghubungkan tempat-tempat yang berjauhan
sedemikian rupa, sehingga peristiwa lokal bisa terjadi disebabkan oleh kejadian
ditempat lain yang sekian mil
jauhnya dan
sebaliknya (Giddens, 1990:64).
Globalisasi
sebenarnya bukanlah suatu fenomena baru dalam sejarah peradaban dunia. Sebelum
kemunculan negara-bangsa,perdagangan dan migrasi lintas benua telah sejak lama
berlangsung. Jauh sebelumnya, perdagangan regional telah membuat interaksi
antarsuku bangsa terjadi secara alamiah.
Globalisasi
sebagai sebuah fenomena multi dimensi pada titik tertentu melahirkan berbagai
perspektif. Pada satu sisi para ilmuwan menganggap bahwa globalisasi adalah
sebuah paradigrma ilmu dalam keilmuan sosial saja, padahal jika kita melihat
aspek yang lebih luas dari pada globalisasi maka implikasi yang ditimbulkan
globalisasi juga mengarah pada perubahan yang signifikan terhadap pola
perkembangan sains dan teknologi dunia.
Sebagai
sebuah konsep Globalisasi selalu identik dengan konsep pengurangan kedaulatan
sebuah negara, penghilangan batas wilayah sebuah negara, kecanggihan teknologi,
penyempitan ruang dunia dan pengembangan transaksi perdagangan berdasarkan
kepada pemikiran perdagangan bebas.
Dampak
globalisasi yang terjadi saat ini sangat berpengaruh terhadap pendidikan
karakter bangsa. Kemajuan teknologi yang tak terbendung lagi, sedikit demi
sedikit telah mengikis pendidikan karakter bangsa.
Salah
satunya adalah internet. Internet merupakan salah satu faktor penyumbang
terbesar dalam memengaruhi pendidikan karakter. Sistem komunikasi berjaringan
ini hadir di tengah-tengah publik melalui komputer di rumah-rumah, modem,
warung internet, serta melalui layanan-layanan seperti Web-TV. Internet
berkembang secara fenomenal, tidak saja dari segi jumlah tetapi dari segi
penggunanya (Haryati, 2007:1).
Beragam akses terhadap informasi dan hiburan
dari berbagai penjuru dunia dapat dilakukan melalui satu pintu saja, menembus
batas dimensi kehidupan penggunanya, waktu, dan bahkan ruang sehingga internet
dapat diakses oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun. Hanya dengan fasilitas
search engine, situs pencari informasi maka pengguna internet dapat menemukan
banyak sekali alternatif dan pilihan informasi yang diperlukannya dengan
mengetikkan kata kunci di form yang disediakan.
Masalahnya
adalah teknologi yang canggih ini belum di manfaatkan secara benar dan akhirnya
terjerat pada luasnya informasi yang
menjerumuskan sehingga dampaknya adalah merusak moral dan terabaikanya
pendidikan karakter.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa pentingnya pendidikan karakter di era globalisasi?
1.2.2 Apa cirri-ciri dari merosotnya pendidikan karakter?
1.2.3 Cara-cara apa saja yang dapat digunakan untuk menanamkan pendidikan
karakter?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pentingnya Pendidikan Karakter
Pendidikan
karakter merupakan hal terpenting untuk membentuk kepribadian. Pendidikan itu
tidak selalu berasal dari pendidikan formal seperti sekolah atau perguruan tinggi.
Pendidikan informal dan non formal pun memiliki peran yang sama untuk membentuk
kepribadian, terutama anak atau peserta didik. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun
2003 kita dapat melihat ketiga perbedaan model lembaga pendidikan tersebut.
Dikatakan bahwa Pendidikan formal
adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sementara
pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang
dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
Karakter bangsa merupakan aspek penting
dari kualitas SDM karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu
bangsa. Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini.
Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Lickona
(1992) menjelaskan beberapa alasan perlunya Pendidikan karakter, di antaranya:
(1) Banyaknya generasi muda saling melukai karena lemahnya
kesadaran pada nilai-nilai moral,
(2) Memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda
merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama,
(3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin
penting ketika banyak anak-anak memperoleh sedikit pengajaran moral dari
orangtua, masyarakat, atau lembaga keagamaan,
(4) masih adanya nilai-nilai moral yang secara universal
masih diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat, dan tanggungjawab,
(5) Demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk pendidikan
moral karena demokrasi merupakan peraturan dari, untuk dan oleh masyarakat,
(6) Tidak ada sesuatu sebagai pendidikan bebas nilai.
Sekolah mengajarkan pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan nilai-nilai
setiap hari melalui desain ataupun tanpa desain,
(7) Komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita
mau dan terus menjadi guru yang baik, dan
(8) Pendidikan karakter yang efektif membuat sekolah lebih
beradab, peduli pada masyarakat, dan mengacu pada performansi akademik yang
meningkat.
Alasan-alasan di atas menunjukkan bahwa pendidikan karakter
sangat perlu ditanamkan sedini mungkin untuk mengantisipasi persoalan di masa
depan yang semakin kompleks seperti semakin rendahnya perhatian dan kepedulian
anak terhadap lingkungan sekitar, tidak memiliki tanggungjawab, rendahnya
kepercayaan diri, dan lain-lain.
2.2 Pemerosotan Pendidikan
Karakter
Indonesia
saat ini sedang menghadapi dua tantangan besar, yaitu desentralisasi atau otoda
yang saat ini sudah dimulai dan era globalisasi total yang akan terjadi pada
tahun 2020. Kunci sukses dalam menghadapi tantangan berat itu terletak pada
kualitas SDM Indonesia yang handal dan berbudaya. Oleh karena itu, peningkatan
kualitas SDM sejak dini merupakan hal penting yang harus dipikirkan secara
sungguh-sunguh.
Karakter
bangsa merupakan aspek penting dari kualitas SDM karena kualitas karakter
bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter yang berkualitas perlu
dibentuk dan dibina sejak usia dini. Menurut Freud, kegagalan penanaman
kepribadian yang baik diusia dini ini akan membentuk pribadi yang bermasalah di
masa dewasanya kelak.
Thomas Lickona, seorang professor
pendidikan dari Cortland iniversity, mengungkapkan bahwa ada sepuluh
tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai. Tanda-tanda itu yaitu:
- Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja
- Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk
- Pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan
- Meningkatnya perilaku merusak diri
- Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk
- Menurunnya etos kerja
- Semakin rendanhnya rasa hormat kepada orang tua dan guru
- Rendahnya rasa tanggunga jawa individu dan warga Negara
- Membudayanya ketidakjujuran
- Adanya rasa saling curiga dan kebencian diantara sesame
Masalah
lain yang dihadapi selain sepuluh tanda-tanda tersebut yaitu system pendidikan
dini yang ada sekarang ini terlalu berorientasi pada pengembangan otak
kiri(kognitif) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan
(afektif,emapti, dan rasa).
Pada
sisi lain, pembentukan karakter harus dilakukan secaa sistematis dan
berkesinambungan yang melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving, dan
action”. Pada dasranya anak-anak yang berkarakter rendah adalah anak yang
berpotensi besar mengalami kesulitan dalam belajar, berinterkasi social, dan
tidak mampun mengontrol diri.
Thomas
Lickona (1991) mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sefat alami
seseorang dalam merespons situasi secara bermoral, yang dimanifestasikan dalam
tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab,
menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya.
2.3 Cara-Cara Untuk Menanamkan Pendidikan Karakter
2.3.1 Menanamkan Karakter Didalam
Diri Siswa
Karakter bangsa yang kuat mesti dibangun dalam diri anak
didik. Sebab karaktermenentukan lemah dan kuatnya seorang individu. “ Untuk
membangun karakter anak didik, mesti didukung dengan inisiatif kritis dan
memberikan waktu pada mereka yang mengemukakan ide-ide baru: ujar budayaman
Frans Magnis Suseno dalam Sarasehan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan
Karakter bangsa di Jakarta.
Kementrian Pendidikan
Nasioanal, menurut Frans magins, harus data menanamkan tiga nilai pada setiap
anak didik. Yakni, kemampuan menyatukan nilai, kemanusiaan yang adil dan
beradab, dan mempunyai rasa peka terhadap orang lain.
Mendiknas, Mohammad Nuh
menuturkan bahwa pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah pemikiran umum
yang mempunyai derajat dan level tertentu. Cara-cara pengembangannya perlu
penyusunan lebih lanjut sebelum ditanamkan kepada setiap siswa mulai dari TK
hingga dewasa.
Kepala Pusat Kurikulum
(Puskur) Kemendiknas, Diah Harianti, mengakui bahwa banyak mata ajar baru yang
akan diluncurkan Kemendiknas, anatara lain perubahan iklim, pendididkan
karakter dan budaya bangsa, serta pelajaran anti korupsi. Namun, dia menegaskan
“ mata pelajaran baru harus punya penekanan yang jelas sehingga tidak memberatkan
siswa.”
2.3.2 Pendidikan Karakter yang Integral
Pendidikan
karakter hanya akan menjadi sekadar wacana jika tidak dipahami secara lebih
utuh dan menyeluruh dalam konteks pendidikan nasional kita. Bahkan, pendidikan
karakter yang dipahami secara persial dan tidak tepat sasaran justru malah
bersifat kontraproduktif bagi pembentukan karakter anak didik. Pendekatan
persial yang tidak didasari pendekatan pedagogi yang kokoh alih-alih menanamkan
nilai-nilai keutamaan dalam diri anak, malah akan menjerumuskan mereka pada
perilaku kurang bermoral. Selama ini, jika kita berbicara tentang pendidikan
karakter, yang kita bicarakan sesungguhnya adalah sebuah proses penanaman nilai
yang sering kali dipahami secara sempit, hanya terbatas pada ruang kelas, dan
sering kali pendekatan ini tidak didasari prinsip pedagogi pendidikan yang
kokoh.
2.3.3 Implementasi Pendidikan
Karakter
Upaya untuk mengimplementasikan pendidikan karakter
adalah melalui Pendekatan Holistik, yaitu mengintegrasikan perkembangan
karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Berikut ini ciri-ciri
pendekatan holistik (Elkind dan Sweet, 2005).
1. Segala sesuatu di sekolah diatur
berdasarkan perkembangan hubungan antara siswa, guru, dan masyarakat
2. Sekolah merupakan masyarakat
peserta didik yang peduli di mana ada ikatan yang jelas yang menghubungkan
siswa, guru, dan sekolah
3. Pembelajaran emosional dan sosial
setara dengan pembelajaran akademik
4. Kerjasama dan kolaborasi di
antara siswa menjadi hal yang lebih utama dibandingkan persaingan
5. Nilai-nilai seperti keadilan,
rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelajaran sehari-hari baik di
dalam maupun di luar kelas
6. Siswa-siswa diberikan banyak
kesempatan untuk mempraktekkan prilaku moralnya melalui kegiatan-kegiatan
seperti pembelajaran memberikan pelayanan
7. Disiplin dan pengelolaan kelas
menjadi fokus dalam memecahkan masalah dibandingkan hadiah dan hukuman
8. Model pembelajaran yang berpusat
pada guru harus ditinggalkan dan beralih ke kelas demokrasi di mana guru dan
siswa berkumpul untuk membangun kesatuan, norma, dan memecahkan masalah
Sementara itu peran lembaga
pendidikan atau sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan karakter mencakup
(1) mengumpulkan guru, orangtua dan siswa bersama-sama mengidentifikasi dan
mendefinisikan unsur-unsur karakter yang mereka ingin tekankan, (2) memberikan
pelatihan bagi guru tentang bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter ke
dalam kehidupan dan budaya sekolah, (3) menjalin kerjasama dengan orangtua dan
masyarakat agar siswa dapat mendengar bahwa prilaku karakter itu penting untuk
keberhasilan di sekolah dan di kehidupannya, dan (4) memberikan kesempatan
kepada kepala sekolah, guru, orangtua dan masyarakat untuk menjadi model
prilaku sosial dan moral (US Department
of Education).
Mengacu pada konsep pendekatan
holistik dan dilanjutkan dengan upaya yang dilakukan lembaga pendidikan, kita
perlu meyakini bahwa proses pendidikan karakter tersebut harus dilakukan secara
berkelanjutan (continually) sehingga
nilai-nilai moral yang telah tertanam dalam pribadi anak tidak hanya sampai
pada tingkatan pendidikan tertentu atau hanya muncul di lingkungan keluarga
atau masyarakat saja. Selain itu praktik-praktik moral yang dibawa anak tidak
terkesan bersifat formalitas, namun benar-benar tertanam dalam jiwa anak.
2.3.4
Peran Pendidik dalam Membentuk Karakter SDM
Pendidik
itu bisa guru, orangtua atau siapa saja, yang penting ia memiliki kepentingan
untuk membentuk pribadi peserta didik atau anak. Peran pendidik pada intinya
adalah sebagai masyarakat yang belajar dan bermoral. Lickona, Schaps, dan Lewis
(2007) serta Azra (2006) menguraikan beberapa pemikiran tentang peran pendidik,
di antaranya:
1. Pendidik perlu terlibat dalam
proses pembelajaran, diskusi, dan mengambil inisiatif sebagai upaya membangun
pendidikan karakter
2.
Pendidik bertanggungjawab untuk menjadi model yang
memiliki nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi
siswa-siswanya. Artinya pendidik di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi
“uswah hasanah” yang hidup bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka
dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai
yang baik tersebut.
3. Pendidik perlu memberikan
pemahaman bahwa karakter siswa tumbuh melalui kerjasama dan berpartisipasi
dalam mengambil keputusan
4. Pendidik perlu melakukan refleksi
atas masalah moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin untuk memastikan bahwa
siswa-siswanya mengalami perkembangan karakter.
5. Pendidik
perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus
menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk.
Hal-hal lain yang pendidik dapat lakukan dalam
implementasi pendidikan karakter (Djalil dan Megawangi, 2006) adalah: (1)
pendidik perlu menerapkan metode pembelajaran yang melibatkan partisipatif
aktif siswa, (2) pendidik perlu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif,
(3) pendidik perlu memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis,
dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good, dan (4)
pendidik perlu memperhatikan keunikan siswa masing-masing dalam menggunakan
metode pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan 9 aspek
kecerdasan manusia. Agustian (2007) menambahkan bahwa pendidik perlu melatih
dan membentuk karakter anak melalui pengulangan-pengulangan sehingga terjadi
internalisasi karakter, misalnya mengajak siswanya melakukan shalat secara
konsisten.
Berdasarkan penjelasan di atas, saya mencoba
mengkategorikan peran pendidik di setiap jenis lembaga pendidikan dalam
membentuk karakter siswa. Dalam pendidikan formal dan non formal, pendidik (1)
harus terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu melakukan interaksi dengan
siswa dalam mendiskusikan materi pembelajaran, (2) harus menjadi contoh
tauladan kepada siswanya dalam berprilaku dan bercakap, (3) harus mampu
mendorong siswa aktif dalam pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran
yang variatif, (4) harus mampu mendorong dan membuat perubahan sehingga
kepribadian, kemampuan dan keinginan guru dapat menciptakan hubungan yang
saling menghormati dan bersahabat dengan siswanya, (5) harus mampu membantu dan
mengembangkan emosi dan kepekaan sosial siswa agar siswa menjadi lebih
bertakwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan keindahan dan belajar soft skills yang berguna bagi kehidupan
siswa selanjutnya, dan (6) harus menunjukkan rasa kecintaan kepada siswa
sehingga guru dalam membimbing siswa yang sulit tidak mudah putus asa.
Sementara dalam pendidikan informal seperti keluarga dan
lingkungan, pendidik atau orangtua/tokoh masyarakat (1) harus menunjukkan
nilai-nilai moralitas bagi anak-anaknya, (2) harus memiliki kedekatan emosional
kepada anak dengan menunjukkan rasa kasih sayang, (3) harus memberikan
lingkungan atau suasana yang kondusif bagi pengembangan karakter anak, dan (4)
perlu mengajak anak-anaknya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah,
misalnya dengan beribadah secara rutin.
Berangkat dengan upaya-upaya yang pendidik lakukan
sebagaimana disebut di atas, diharapkan akan tumbuh dan berkembang karakter
kepribadian yang memiliki kemampuan unggul di antaranya:
(1) karakter mandiri dan unggul,
(2) komitmen pada kemandirian dan kebebasan,
(3) konflik bukan potensi laten, melainkan situasi monumental dan lokal,
(4) signifikansi Bhinneka Tunggal Ika, dan
(5) mencegah agar stratifikasi sosial identik dengan perbedaan etnik dan
agama (Jalal dan Supriadi, 2001: 49-50).
BAB III
Kesimpulan dan Saran
3.1 Kesimpulan
Pembentukan
karakter SDM yang kuat sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan global yang
lebih berat. Karakter SDM dalam dibentuk melalui proses pendidikan formal, non
formal, dan informal yang ketiganya harus bersinergis. Untuk menyinergiskan,
peran pendidik dalam pendidikan karakter menjadi sangat vital sehingga anak
didik atau SDM Indonesia menjadi manusia yang religius, moderat, cerdas, dan
mandiri sesuai dengan cita-cita dan tujuan pendidikan nasional serta watak
bangsa Indonesia
3.2 Saran
Globalisasi
adalah sesuatu hal yang harus dihadapi bukan untuk dijauhi atau menutup diri.
Yang perlu kita siapkan hanyalah pendidikan karakter yang mencangkup semua
generasi sehingga globalisasi dapat ditanggapi sebagai hal yang positif.
Daftar Pustaka
Muslich, Mansur. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional.
2011
Azra, Azyumardi.
Agama, Budaya, dan Pendidikan Karakter
Bangsa. 2006
Suyatno. Peran
Pendidikan Sebagai Modal Utama Membangun Karakter Bangsa. 2010
Hasan, Said Hamid. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa. 2010
website
Tidak ada komentar:
Posting Komentar