Senin, 15 Juli 2013

PENDIDIKAN KARAKTER DI ERA GLOBALISASI

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
            Globalisasi adalah intensifikasi hubungan sosial sejagat yang menghubungkan tempat-tempat yang berjauhan sedemikian rupa, sehingga peristiwa lokal bisa terjadi disebabkan oleh kejadian ditempat lain yang sekian mil
jauhnya dan sebaliknya (Giddens, 1990:64).
Globalisasi sebenarnya bukanlah suatu fenomena baru dalam sejarah peradaban dunia. Sebelum kemunculan negara-bangsa,perdagangan dan migrasi lintas benua telah sejak lama berlangsung. Jauh sebelumnya, perdagangan regional telah membuat interaksi antarsuku bangsa terjadi secara alamiah.
Globalisasi sebagai sebuah fenomena multi dimensi pada titik tertentu melahirkan berbagai perspektif. Pada satu sisi para ilmuwan menganggap bahwa globalisasi adalah sebuah paradigrma ilmu dalam keilmuan sosial saja, padahal jika kita melihat aspek yang lebih luas dari pada globalisasi maka implikasi yang ditimbulkan globalisasi juga mengarah pada perubahan yang signifikan terhadap pola perkembangan sains dan teknologi dunia.
Sebagai sebuah konsep Globalisasi selalu identik dengan konsep pengurangan kedaulatan sebuah negara, penghilangan batas wilayah sebuah negara, kecanggihan teknologi, penyempitan ruang dunia dan pengembangan transaksi perdagangan berdasarkan kepada pemikiran perdagangan bebas.
Dampak globalisasi yang terjadi saat ini sangat berpengaruh terhadap pendidikan karakter bangsa. Kemajuan teknologi yang tak terbendung lagi, sedikit demi sedikit telah mengikis pendidikan karakter bangsa.
Salah satunya adalah internet. Internet merupakan salah satu faktor penyumbang terbesar dalam memengaruhi pendidikan karakter. Sistem komunikasi berjaringan ini hadir di tengah-tengah publik melalui komputer di rumah-rumah, modem, warung internet, serta melalui layanan-layanan seperti Web-TV. Internet berkembang secara fenomenal, tidak saja dari segi jumlah tetapi dari segi penggunanya (Haryati, 2007:1).
 Beragam akses terhadap informasi dan hiburan dari berbagai penjuru dunia dapat dilakukan melalui satu pintu saja, menembus batas dimensi kehidupan penggunanya, waktu, dan bahkan ruang sehingga internet dapat diakses oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun. Hanya dengan fasilitas search engine, situs pencari informasi maka pengguna internet dapat menemukan banyak sekali alternatif dan pilihan informasi yang diperlukannya dengan mengetikkan kata kunci di form yang disediakan.
Masalahnya adalah teknologi yang canggih ini belum di manfaatkan secara benar dan akhirnya terjerat pada  luasnya informasi yang menjerumuskan sehingga dampaknya adalah merusak moral dan terabaikanya pendidikan karakter.

1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa pentingnya pendidikan karakter di era globalisasi?
1.2.2 Apa cirri-ciri dari merosotnya pendidikan karakter?
1.2.3 Cara-cara apa saja yang dapat digunakan untuk menanamkan pendidikan karakter?
BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pentingnya Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter merupakan hal terpenting untuk membentuk kepribadian. Pendidikan itu tidak selalu berasal dari pendidikan formal seperti sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan informal dan non formal pun memiliki peran yang sama untuk membentuk kepribadian, terutama anak atau peserta didik. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 kita dapat melihat ketiga perbedaan model lembaga pendidikan tersebut. Dikatakan bahwa Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sementara pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
Karakter bangsa merupakan aspek penting dari kualitas SDM karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Lickona (1992) menjelaskan beberapa alasan perlunya Pendidikan karakter, di antaranya:
(1) Banyaknya generasi muda saling melukai karena lemahnya kesadaran pada nilai-nilai moral,
(2) Memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama,
(3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika banyak anak-anak memperoleh sedikit pengajaran moral dari orangtua, masyarakat, atau lembaga keagamaan,
(4) masih adanya nilai-nilai moral yang secara universal masih diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat, dan tanggungjawab,
(5) Demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk pendidikan moral karena demokrasi merupakan peraturan dari, untuk dan oleh masyarakat,
(6) Tidak ada sesuatu sebagai pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain ataupun tanpa desain,
(7) Komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita mau dan terus menjadi guru yang baik, dan
(8) Pendidikan karakter yang efektif membuat sekolah lebih beradab, peduli pada masyarakat, dan mengacu pada performansi akademik yang meningkat.
Alasan-alasan di atas menunjukkan bahwa pendidikan karakter sangat perlu ditanamkan sedini mungkin untuk mengantisipasi persoalan di masa depan yang semakin kompleks seperti semakin rendahnya perhatian dan kepedulian anak terhadap lingkungan sekitar, tidak memiliki tanggungjawab, rendahnya kepercayaan diri, dan lain-lain.


2.2 Pemerosotan Pendidikan Karakter
Indonesia saat ini sedang menghadapi dua tantangan besar, yaitu desentralisasi atau otoda yang saat ini sudah dimulai dan era globalisasi total yang akan terjadi pada tahun 2020. Kunci sukses dalam menghadapi tantangan berat itu terletak pada kualitas SDM Indonesia yang handal dan berbudaya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas SDM sejak dini merupakan hal penting yang harus dipikirkan secara sungguh-sunguh.
Karakter bangsa merupakan aspek penting dari kualitas SDM karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Menurut Freud, kegagalan penanaman kepribadian yang baik diusia dini ini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak.
            Thomas Lickona, seorang professor pendidikan dari Cortland iniversity, mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai. Tanda-tanda itu yaitu:
  1. Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja
  2. Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk
  3. Pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan
  4. Meningkatnya perilaku merusak diri
  5. Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk
  6.  Menurunnya etos kerja
  7. Semakin rendanhnya rasa hormat kepada orang tua dan guru
  8. Rendahnya rasa tanggunga jawa individu dan warga Negara
  9. Membudayanya ketidakjujuran
  10. Adanya rasa saling curiga dan kebencian diantara sesame
Masalah lain yang dihadapi selain sepuluh tanda-tanda tersebut yaitu system pendidikan dini yang ada sekarang ini terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri(kognitif) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif,emapti, dan rasa).
Pada sisi lain, pembentukan karakter harus dilakukan secaa sistematis dan berkesinambungan yang melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving, dan action”. Pada dasranya anak-anak yang berkarakter rendah adalah anak yang berpotensi besar mengalami kesulitan dalam belajar, berinterkasi social, dan tidak mampun mengontrol diri.
Thomas Lickona (1991) mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sefat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral, yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya.
           

2.3 Cara-Cara Untuk Menanamkan Pendidikan Karakter

2.3.1 Menanamkan Karakter Didalam Diri Siswa
Karakter bangsa yang kuat mesti dibangun dalam diri anak didik. Sebab karaktermenentukan lemah dan kuatnya seorang individu. “ Untuk membangun karakter anak didik, mesti didukung dengan inisiatif kritis dan memberikan waktu pada mereka yang mengemukakan ide-ide baru: ujar budayaman Frans Magnis Suseno dalam Sarasehan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter bangsa di Jakarta.
      Kementrian Pendidikan Nasioanal, menurut Frans magins, harus data menanamkan tiga nilai pada setiap anak didik. Yakni, kemampuan menyatukan nilai, kemanusiaan yang adil dan beradab, dan mempunyai rasa peka terhadap orang lain.
      Mendiknas, Mohammad Nuh menuturkan bahwa pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah pemikiran umum yang mempunyai derajat dan level tertentu. Cara-cara pengembangannya perlu penyusunan lebih lanjut sebelum ditanamkan kepada setiap siswa mulai dari TK hingga dewasa.
      Kepala Pusat Kurikulum (Puskur) Kemendiknas, Diah Harianti, mengakui bahwa banyak mata ajar baru yang akan diluncurkan Kemendiknas, anatara lain perubahan iklim, pendididkan karakter dan budaya bangsa, serta pelajaran anti korupsi. Namun, dia menegaskan “ mata pelajaran baru harus punya penekanan yang jelas sehingga tidak memberatkan siswa.”

2.3.2 Pendidikan Karakter yang Integral
        Pendidikan karakter hanya akan menjadi sekadar wacana jika tidak dipahami secara lebih utuh dan menyeluruh dalam konteks pendidikan nasional kita. Bahkan, pendidikan karakter yang dipahami secara persial dan tidak tepat sasaran justru malah bersifat kontraproduktif bagi pembentukan karakter anak didik. Pendekatan persial yang tidak didasari pendekatan pedagogi yang kokoh alih-alih menanamkan nilai-nilai keutamaan dalam diri anak, malah akan menjerumuskan mereka pada perilaku kurang bermoral. Selama ini, jika kita berbicara tentang pendidikan karakter, yang kita bicarakan sesungguhnya adalah sebuah proses penanaman nilai yang sering kali dipahami secara sempit, hanya terbatas pada ruang kelas, dan sering kali pendekatan ini tidak didasari prinsip pedagogi pendidikan yang kokoh.
2.3.3 Implementasi Pendidikan Karakter
Upaya untuk mengimplementasikan pendidikan karakter adalah melalui Pendekatan Holistik, yaitu mengintegrasikan perkembangan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Berikut ini ciri-ciri pendekatan holistik (Elkind dan Sweet, 2005).
1.      Segala sesuatu di sekolah diatur berdasarkan perkembangan hubungan antara siswa, guru, dan masyarakat
2.      Sekolah merupakan masyarakat peserta didik yang peduli di mana ada ikatan yang jelas yang menghubungkan siswa, guru, dan sekolah
3.      Pembelajaran emosional dan sosial setara dengan pembelajaran akademik
4.      Kerjasama dan kolaborasi di antara siswa menjadi hal yang lebih utama dibandingkan persaingan
5.      Nilai-nilai seperti keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelajaran sehari-hari baik di dalam maupun di luar kelas
6.      Siswa-siswa diberikan banyak kesempatan untuk mempraktekkan prilaku moralnya melalui kegiatan-kegiatan seperti pembelajaran memberikan pelayanan
7.      Disiplin dan pengelolaan kelas menjadi fokus dalam memecahkan masalah dibandingkan hadiah dan hukuman
8.      Model pembelajaran yang berpusat pada guru harus ditinggalkan dan beralih ke kelas demokrasi di mana guru dan siswa berkumpul untuk membangun kesatuan, norma, dan memecahkan masalah
Sementara itu peran lembaga pendidikan atau sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan karakter mencakup (1) mengumpulkan guru, orangtua dan siswa bersama-sama mengidentifikasi dan mendefinisikan unsur-unsur karakter yang mereka ingin tekankan, (2) memberikan pelatihan bagi guru tentang bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kehidupan dan budaya sekolah, (3) menjalin kerjasama dengan orangtua dan masyarakat agar siswa dapat mendengar bahwa prilaku karakter itu penting untuk keberhasilan di sekolah dan di kehidupannya, dan (4) memberikan kesempatan kepada kepala sekolah, guru, orangtua dan masyarakat untuk menjadi model prilaku sosial dan moral (US Department of Education).
Mengacu pada konsep pendekatan holistik dan dilanjutkan dengan upaya yang dilakukan lembaga pendidikan, kita perlu meyakini bahwa proses pendidikan karakter tersebut harus dilakukan secara berkelanjutan (continually) sehingga nilai-nilai moral yang telah tertanam dalam pribadi anak tidak hanya sampai pada tingkatan pendidikan tertentu atau hanya muncul di lingkungan keluarga atau masyarakat saja. Selain itu praktik-praktik moral yang dibawa anak tidak terkesan bersifat formalitas, namun benar-benar tertanam dalam jiwa anak.

2.3.4 Peran Pendidik dalam Membentuk Karakter SDM
Pendidik itu bisa guru, orangtua atau siapa saja, yang penting ia memiliki kepentingan untuk membentuk pribadi peserta didik atau anak. Peran pendidik pada intinya adalah sebagai masyarakat yang belajar dan bermoral. Lickona, Schaps, dan Lewis (2007) serta Azra (2006) menguraikan beberapa pemikiran tentang peran pendidik, di antaranya:
1.      Pendidik perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, dan mengambil inisiatif sebagai upaya membangun pendidikan karakter
2.      Pendidik bertanggungjawab untuk menjadi model yang memiliki nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi siswa-siswanya. Artinya pendidik di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.
3.      Pendidik perlu memberikan pemahaman bahwa karakter siswa tumbuh melalui kerjasama dan berpartisipasi dalam mengambil keputusan
4.      Pendidik perlu melakukan refleksi atas masalah moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin untuk memastikan bahwa siswa-siswanya mengalami perkembangan karakter.
5.      Pendidik perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk.
Hal-hal lain yang pendidik dapat lakukan dalam implementasi pendidikan karakter (Djalil dan Megawangi, 2006) adalah: (1) pendidik perlu menerapkan metode pembelajaran yang melibatkan partisipatif aktif siswa, (2) pendidik perlu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, (3) pendidik perlu memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good, dan (4) pendidik perlu memperhatikan keunikan siswa masing-masing dalam menggunakan metode pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan 9 aspek kecerdasan manusia. Agustian (2007) menambahkan bahwa pendidik perlu melatih dan membentuk karakter anak melalui pengulangan-pengulangan sehingga terjadi internalisasi karakter, misalnya mengajak siswanya melakukan shalat secara konsisten.
Berdasarkan penjelasan di atas, saya mencoba mengkategorikan peran pendidik di setiap jenis lembaga pendidikan dalam membentuk karakter siswa. Dalam pendidikan formal dan non formal, pendidik (1) harus terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu melakukan interaksi dengan siswa dalam mendiskusikan materi pembelajaran, (2) harus menjadi contoh tauladan kepada siswanya dalam berprilaku dan bercakap, (3) harus mampu mendorong siswa aktif dalam pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran yang variatif, (4) harus mampu mendorong dan membuat perubahan sehingga kepribadian, kemampuan dan keinginan guru dapat menciptakan hubungan yang saling menghormati dan bersahabat dengan siswanya, (5) harus mampu membantu dan mengembangkan emosi dan kepekaan sosial siswa agar siswa menjadi lebih bertakwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan keindahan dan belajar soft skills yang berguna bagi kehidupan siswa selanjutnya, dan (6) harus menunjukkan rasa kecintaan kepada siswa sehingga guru dalam membimbing siswa yang sulit tidak mudah putus asa.
Sementara dalam pendidikan informal seperti keluarga dan lingkungan, pendidik atau orangtua/tokoh masyarakat (1) harus menunjukkan nilai-nilai moralitas bagi anak-anaknya, (2) harus memiliki kedekatan emosional kepada anak dengan menunjukkan rasa kasih sayang, (3) harus memberikan lingkungan atau suasana yang kondusif bagi pengembangan karakter anak, dan (4) perlu mengajak anak-anaknya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, misalnya dengan beribadah secara rutin.
Berangkat dengan upaya-upaya yang pendidik lakukan sebagaimana disebut di atas, diharapkan akan tumbuh dan berkembang karakter kepribadian yang memiliki kemampuan unggul di antaranya:
(1) karakter mandiri dan unggul,
(2) komitmen pada kemandirian dan kebebasan,
(3) konflik bukan potensi laten, melainkan situasi monumental dan lokal,
(4) signifikansi Bhinneka Tunggal Ika, dan
(5) mencegah agar stratifikasi sosial identik dengan perbedaan etnik dan agama (Jalal dan Supriadi, 2001: 49-50).

BAB III
Kesimpulan dan Saran


3.1 Kesimpulan
Pembentukan karakter SDM yang kuat sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan global yang lebih berat. Karakter SDM dalam dibentuk melalui proses pendidikan formal, non formal, dan informal yang ketiganya harus bersinergis. Untuk menyinergiskan, peran pendidik dalam pendidikan karakter menjadi sangat vital sehingga anak didik atau SDM Indonesia menjadi manusia yang religius, moderat, cerdas, dan mandiri sesuai dengan cita-cita dan tujuan pendidikan nasional serta watak bangsa Indonesia

3.2 Saran
            Globalisasi adalah sesuatu hal yang harus dihadapi bukan untuk dijauhi atau menutup diri. Yang perlu kita siapkan hanyalah pendidikan karakter yang mencangkup semua generasi sehingga globalisasi dapat ditanggapi sebagai hal yang positif.


Daftar Pustaka


Muslich, Mansur. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. 2011
Azra, Azyumardi. Agama, Budaya, dan Pendidikan Karakter Bangsa. 2006
Suyatno. Peran Pendidikan Sebagai Modal Utama Membangun Karakter Bangsa. 2010
Hasan, Said Hamid. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. 2010
website


Tidak ada komentar:

Posting Komentar